Margodadi, 22 Oktober 2018
Upacara Hari Santri di Lapangan Margodadi
Peringati Hari Santri Nasional, Santri dan Siswa Seleggarakan Upacara di Lapangan Margodadi
Para peserta upacara yang terdiri dari santri-santri Pondok Pesantren di Margodadi yaitu PP. Bahrul Ulum Putra, PP. Bahrul Ulum Putri, PP RMQ Al-Falah Putra, PP. Al-Falah Putri dan siswa-siswi Yayasan Pengembangan Pendidikan Al-Ma'ruf bersemangat mengikuti jalannya upacara. Juga hadir kelpala pekon Margodadi.
Dalam kesempatan itu Bpk. KASTOLANI, S.Pd.I yaitu Kepala MTs Al-Ma'ruf Margodadi yang sebagai pembina upacara menyampaikan tentang sejarahnya hari santri kenapa perlu di peringati
Hari Santri Nasional memiliki arti, makna, dan filosofi yang besar bagi bangsa Indonesia, sehingga perlu diketahui sejarah dan latar belakang ditetapkannya tanggal 22 Oktober sebagai hari santri nasional.
Hari Santri adalah hari untuk memperingati peran besar kaum kiai dan santri dalam perjuangan melawan penjajahan bangsa asing, bertepatan dengan resolusi jihad Mbah KH Hasyim pada tanggal 22 Oktober.
Itu yang menjadi alasan kenapa Hari Santri Nasional ditetapkan pada tanggal 22 Oktober, setelah sebelumnya Presiden Jokowi berpendapat pada tanggal 1 Muharram.
Sejarah mencatat, para santri bersama dengan pejuang bangsa lainnya memiliki peran besar dalam merebut kembali kedaulatan negara dari kolonialisme bangsa asing.
Presiden Joko Widodo juga mengamini peran historis kaum santri. Mereka yang ikut berjuang dan memiliki peran dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), antara lain KH Hasyim Asy’ari pendiri ormas Islam Nahdlatul Ulama (NU), KH Ahmad Dahlan dari Muhammadiyah, A Hassan dari Persis, Abdul Rahman dari Matlaul Anwar, Ahmad Soorhati dari Al Irsyad. Belum lagi para perwira atau prajurit Pembela Tanah Air (Peta) yang banyak juga dari kalangan santri.
selain itu Bapak Kastolani, S.Pd.I juga menyampaikan beberapa kepada santri wan dan santri wati untuk menjadi seperti sebuah pohon padi yang semakin tua semakin merunduk yang bermakna semakin banyak ilmunya harus semakin tawaduk dan jangan seperti pohon pakis yang ketika kecil melengkung setelah besar tegak lurus yang bermakna semakin berilmu semakin sombong.